Satrio Piningit, Pemimpin Yang Ada Dalam Ramalan Jaya Baya
Table of Contents
CAHYOGYA.COM - Media Berita Aneka Tps dan Pengetahuan Baru terlengkap. Sejarah panjang kepemimpinan bangsa ini sudah mengakar kuat dalam budaya masyarakat, terutama masyarakat jawa. Negeri ini sudah banyak makan garam tentang kekuasaan, mulai dari era kerajaan Sriwijaya sampai Era Soekarno. Para pemimpin negeri ini selalu punya tanggung jawab besar yang tidak mudah. Dalam artikel saya kali ini saya ingin mengajak anda untuk melihat jauh ke belakang untuk melihat masa depan. Penjelasan saya kali ini saya kutip dari ulasan Prof. Suhardiman sebagai salah satu "Dukun Politik" politisi senior dari partai Beringin (Golkar) beliau sangat yakin Jokowi adalah pemimpin yang disebut dalam ramalan Jaya Baya akan membawa Indonesia menuju kejayaan. Menurut ramalan Jaya Baya, katanya, sejarah kejayaan masyarakat-bangsa di nusantara senantiasa berulang setiap 7 abad. Pada abad ke-7 nusantara mengalami kejayaannya di bawah kerajaan Seriwijaya. Tujuh abad kemudian, yaitu abad ke-14, nusantara mengalami kejayaannya di bawah kerajaan Majapahit. Dan ramalan kejayaan nusantara pada abad ke-21, telah pula disampaikan oleh Jayabaya. Lihat ramalan disini
Pada periode tersebut Indonesia akan berhasil membangun masyarakat dan negara yang administrative state, social service state, dan welfare state, yang oleh Ki Dalang disebut sebagai Masyarakat dan Negara yang gemah ripah loh jinawi, tata-titi-tenteram kertaraharja. Untuk sampai pada kejayaan tersebut Indonesia akan dipimpin oleh Satrio Piningit, yaitu tokoh yang kesampar kesandung dan merangkak dari bawah. Setelah menyelidiki stok kader bangsa yang tersedia dan melihat rekam jejaknya, Prof. Suhardiman menarik kesimpulan kesimpulan bahwa Satrio Piningit tersebut adalah Jokowi, Calon Presiden yang maju bersama Jusuf Kalla. Ramalan Jaya Baya tentang pemimpin Indonesia, katanya, sudah terbukti sebelumnya, yaitu tentang Satrio Kinonjoro, yang keluar masuk penjara, yaitu Bung Karno; Satrio Mukti Wibowo, tokoh kaya dan berwibawa yaitu Pak Harto.
Merangkak dari Bawah.
Jika kita mengacu pada pemahaman bahwa Presiden Indonesia berikutnya berasal dari kalangan bawah seperti disebut dalam ramalan di atas, sosok Jokowi tepat untuk kita rujuk. Siapakah yang mengenal Jokowi dua tahun lalu dalam pentas politik nasional? Indonesia mempunyai banyak stok tokoh yang telah lama berkecimpung dalam dunia politik bahkan sejak mahasiswa. Mereka sering tampil di hadapan publik dengan berbagai konsep politik.
Di antara tokoh-tokoh itu, nama Jokowi tak sekalipun pernah disebut. Karena dia memang bukan seorang politisi handal, bukan aktivis yang telah lama berkecimpung dalam organisasi dan pergerakan massa. Dia juga bukan tokoh militer. Singkatnya, melihat latar belakang Jokowi, tidak seorangpun pernah menduga bahwa dia akan menjadi seorang calon presiden paling favorit seperti ditunjukkan berbagai survey sekarang ini.
Penampilan dan gaya bicara Jokowi juga lebih mencerminkan sosok masyarakat biasa daripada sosok elit politik atau pejabat papan atas. Dia tidak pandai memainkan istilah-istilah politik dengan bahasa diplomatis dan bersayap sebagaimana lazim kita dengar dari mulut politisi di negeri ini. Dia tidak mengenakan stelan mahal dengan berbagai hiasan high class. Dia lebih sering tampil sederhana dengan kemeja yang lengannya dilipat sebagai gambaran kesiapannya untuk bekerja daripada berbasa-basi ala politisi.
Kalau kita melihat lebih jauh ke belakang, masa kecil Jokowi juga tidak sedikitpun memberi tanda dan petunjuk bahwa kelak dia akan menjadi sosok pemimpin hebat dan dipuja-puja oleh rakyatnya. Dia bukanlah orang berkecukupan dari segi ekonomi. Dia besar di sekitar bantaran sungai. Ayahnya penjual kayu di pinggir jalan, sering juga menggotong kayu gergajian. Ia sering ke pasar, pasar tradisional dan berdagang apa saja waktu kecil. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pedagang dikejar-kejar aparat, diusir tanpa rasa kemanusiaan, pedagang ketakutan untuk berdagang. Ia prihatin, ia merasa sedih kenapa kota tak ramah pada manusia.
Semasa kuliah dia lebih banyak menghabiskan waktu luangnya bekerja serabutan untuk membantu orang tuanya menutupi biaya kuliah dan biaya hidup di Yogyakarta. Dia bukan tipe mahasiswa yang gemar berorganisasi atau melakukan kerja-kerja aktivis kampus sebagaimana lazim kita baca dalam biografi para politisi kondang. Dia menghabiskan waktunya belajar dan bekerja serabutan.
Setamat kuliah, dia bekerja di sebuah BUMN di Aceh kemudian kembali ke kampung halamannya menggeluti dunia usaha mebel yang dirintisnya mulai dari bawah hingga dia terpilih menjadi ketua Asmindo (Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajikan Indonesia) Solo. Profesi sebagai pengusaha mebel membawanya beberapa kali bepergiaan ke luar negeri untuk bertemu rekan bisnis dan melihat prospek pasar. Pengalaman di luar negeri (terutama di Eropa) membuka pikirannya tentang kota-kota yang tertata, indah dan asri. Penduduknya sejahtera dan semua taat pada aturan yang jelas. Pemerintah benar-benar hadir sebagai pengayom masyarakat dan problem solver bagi mereka yang mengalami kesulitan. Pengalaman itu memunculkan niat dan cita-cita dalam hati kecilnya untuk mengubah kota tempatnya tinggal dan mencari nafkah. Cita-cita mulia itu mendorongnya memasuki dunia politik. Dia tidak menawarkan sebuah visi misi yang ngejlimet sebagai politisi. Dia tidak mempromosikan pengalaman panjang malang melintang di dunia organisasi dan pergerakan massa. Dia hanya menawarkan sebuah kemauan besar untuk bekerja bagi rakyat dengan konsep pembangunan yang jelas, dengan bahasa sederhana.
Rakyat tampaknya sudah mulai bosan dengan orasi-orasi politik rumit, penuh jargon dan bahasa-bahasa yang bombastis. Mereka merindukan bahasa sederhana penuh empati. Karena itu, mereka menangkap pesan yang disampaikan Jokowi sebagai pendatang baru di belantika politik kota Solo. Mereka memberinya kesempatan. Jokowi menjawab kepercayaan rakyat itu dengan bukti-bukti nyata. Kota Solo pelan-pelan ditatanya. Kehidupan rakyat diperbaiki. Orang miskin diberi kemudahan mengakses pendidikan dan layanan kesehatan. Rakyat puas dengan kinerjanya dan mendaulatnya kembali untuk duduk di kursi Walikota (dengan kemenangan lebih 90 %).
Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat, Suara Tuhan)
Berita tentang kinerja Jokowi dengan cepat berembus ke mana-mana berkat kecanggihan teknologi informasi. Di zaman keterbukaan informasi sekarang ini, teladan baik seorang pemimpin dapat dengan mudah menjadi berita besar, berembus ke seluruh negeri bahkan ke mancanegara. Penyebar informasi itu adalah rakyat sendiri melalui media sosial. Mereka haus dan rindu akan pemimpin yang merakyat. Mereka tahu pemimpin seperti itu sulit ditemukan. Ketika mereka mereka menemukannya, mereka menyebarkannya ke seluruh dunia sebagai bentuk dukungan. Jadilah Jokowi menjadi buah bibir atau lazim disebut media darling.
Rakyat di ibu kota negeri ini rupanya juga sudah merasa jenuh dan penat melihat cara-cara pemerintah memimpin kota yang mereka cintai. Mereka merindukan sosok Jokowi. Pesan itu sampai ke telinga Jokowi dan diapun menerima pinangan rakyat itu untuk memimpin kota Jakarta. Vox populi, vox Dei. Kehendak rakyat menjadi kenyataan. Bersama Jokowi dan wakilnya, Ahok, masyarakat Jakarta mulai meretas asa tentang “Jakarta Baru”. Jokowi seperti biasa tetap kalem dan memilih menyingsingkan lengan baju untuk terus bekerja, tidak larut dalam eforia. Rakyat melihat dengan mata kepala sendiri apa yang telah dia perbuat di kota mereka. Rakyat terus memberikan dukungan melalui suara-suara di media sosial. Terbukti dukungan itu sangat efektif membantu Jokowi ketika berhadapan dengan hambatan dalam menjalankan tugasnya (seperti dalam penataan tanah abang yang mendapat protes dari sejumlah pihak; penempatan lurah Susan di Lenteng Agung dan beberapa contoh lainnya).
Fenomena Jokowi terus menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Gebrakan-gebrakannya di Jakarta juga sampai ke telinga masyarakat di daerah lain. Maka muncullah suara-suara yang merindukan Jokowi untuk memimpin negeri ini. Masyarakat yakin, sosok Jokowilah yang paling tepat untuk memimpin negeri ini. Masyarakat tidak melihat latar belakang pendidikannya; tidak melihat pengalaman berorganisasinya; mereka hanya melihat kinerja dan integritasnya sebagai pemimpin. Maka dalam sejumlah survey dia selalu dinyatakan sebagai pemenang mutlak. Jika rakyat menghendaki, mimpi akan menjadi kenyataan. Vox populi, vox Dei
Update News By : @N_besar


