Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jangan ke Yogya Kalau Ingin Merdeka


CAHYOGYA.COM - Yogyakarta menjadi kota yang nyaman bagi semua pendatang, baik sebagai pelajar, pekerja, pelancong, maupun keperluan apa saja yang dilakukan di Yogyakarta. Hal paling utama yang menumbuhkan “kenyamanan” Kota Yogyakarta tentunya karena masyarakatnya yang begitu bersahabat, sehingga semua pendatang yang berada di kota ini merasa memiliki kota yang begitu concern menonjolkan kebudayaannya. Bahkan, salah seorang tokoh terkemuka Yogya yang pernah menjabat sebagai Walikota Yogyakarta, Bapak Herry Zulianto pernah menyatakan “SIAPAPUN ORANGNYA, DIMANAPUN TEMPAT LAHIRNYA, KALAU DIA MENCINTAI YOGYAKARTA, MAKA DIA ADALAH ORANG YOGYAKARTA”




Status kota Yogya sebagai Kota Pelajar yang menjadi daerah tujuan para pelajar dari luar Yogya membuat kota ini seperti miniatur Indonesia, yang terdiri dari berbagai kelompok dan suku bangsa. Namun, kasus premanisme yang telah merusak citra “nyaman” Kota Yogya mengharuskan semua pihak untuk meningkatkan kepekaan terhadap berbagai potensi konflik komunal di kota Yogya, sebagaimana kasus Hugo’s Café beberapa tahun lalu. Jika semua pihak tidak memiliki kesadaran untuk mengedepankan keharmonisan maka bukan tidak mungkin permasalahan seperti kasus Hugo’s Café dapat terulang dengan berbagai latar belakang dan pemicu.

Bagaimanapun latar belakang kebudayaan masing-masing, semua warga Yogya harus menjunjung tinggi kebudayaan dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Yogya. Hal tersebut seharusnya berlaku secara umum, tidak terkecuali bagi siapa saja yang tinggal di Yogya. Saya teringat akan sebuah percakapan dengan seorang juru parkir di salah satu sudut Kota Yogya.


               “naik motor gak pake helm, bonceng 3, melanggar lampu lalu lintas, sama sekali gak mencerminkan sebagai mahasiswa. Anak saya yang SD saja tau kalo berkendara harus menaati aturan yang ada”


Kalimat itu tiba-tiba terlontar dari sang juru parkir. Gambaran juru parkir tersebut sepertinya sudah lumrah terjadi di kota Yogya akhir-akhir ini, sementara Polisi sebagai penegak aturan tidak berbuat apa-apa saat melihat pelanggaran tersebut. Karena fenomena ini aneh, obrolan tersebut berlanjut.

“mungkin sudah terbiasa seperti itu mas di tempat asalnya, kalau di Papua kan pembangunan masih minim, rambu-rambu lalu lintas masih sedikit bahkan mungkin tidak ada. Sosialisasi aturan berkendara juga mungkin tidak pernah dilakukan karena keterbatasan”

               “lho mas, sekarang situasinya ini ndak di Papua lho. Ini di Yogya, sudah berkali-kali kok mereka diingatkan supaya tertib berlalu lintas, tapi ndak berubah”

“yoo..jangan salahkan mereka sepenuhnya toh mas, itu kan seharusnya tugas polisi untuk mengingatkan”

             “liat sendiri toh mas…polisinya diem aja, lah wong polisinya takut sama mereka. Mas..kalo mereka ada yang ditahan polisi karena buat keributan, puluhan orang Papua bakalan datangi kantor polisi. Terus gak beberapa lama langsung dilepas. Polisinya takut mas..”


Pembicaraan singkat tersebut mungkin dipandang sebagai hal sepele, namun bukankah kasus Hugo’s Café merupakan efek dari situasi-situasi seperti percakapan di atas, dimana ketika polisi enggan menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum sesuai dengan ketentuan yang ada, justru dapat menimbulkan permasalahan yang lebih besar? Terkait keberadaan mahasiswa Papua yang sering melanggar aturan menjadi hal yang unik dan menarik untuk diperhatikan, karena ternyata tidak hanya masalah pelanggaran berlalu lintas atau keributan di masyarakat yang sepertinya dibiarkan oleh aparat kepolisian.

Berbicara masalah keamanan kota Yogya dalam kaitannya dengan masyarakat Papua, ada hal yang sepertinya luput dari penanganan serius aparat kepolisian, yaitu fenomena gerakan separatis Papua Merdeka yang tumbuh dan berkembang di kalangan mahasiswa Papua di Yogya. Jika dilihat perkembangannya, gerakan separatis Papua Merdeka di Yogya memang tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh lapisan rakyat Papua yang berada di kota pelajar ini. Dalam setiap demonstrasi mahasiswa Papua yang menuntut merdeka, jumlah pesertanya tidak sampai 5% dari total warga Papua di kota Yogya, sekitar 40-50 orang. Situasi yang sama juga terjadi di tanah Papua dan beberapa negara.

Dalam melaksanakan aksinya, aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) lebih banyak melakukan klaim sepihak bahwa mereka mendapat mandat dari seluruh rakyat Papua, padahal hal tersebut merupakan aspirasi segelintir orang. Dimana orang-orang tersebut gagal menemukan posisi yang tepat dalam proses pembangunan di Papua.

Fenomena yang muncul di Yogyakarta menjadi menarik, karena gerakan separatis Papua Merdeka mendapat tempat yang begitu luas untuk melakukan propaganda. Padahal aturan dalam UU Ormas sudah sangat jelas melarang organisasi melakukan kegiatan separatis yang mengganggu kedaulatan NKRI. Bahkan kelompok mahasiswa Papua pendukung gerakan separatis OPM melakukan demonstrasi di sekitar kampus UGM. Beberapa peserta membawa replika bendera Bintang Kejora yang terbuat dari kertas dan beberapa orang lainnya menggunakan kaos bercorak bendera Bintang Kejora yang secara jelas dilarang dalam peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, yaitu UU 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dari sudut pandang generasi muda bangsa Indonesia, kondisi ini sangat memprihatinkan, bukan karena adanya demonstrasi menuntut kemerdekaan dari teman-teman mahasiswa Papua, tetapi karena keberadaan puluhan aparat kepolisian yang berada di sekitar lokasi yang tidak berbuat apa-apa, hanya menyaksikan simbol-simbol separatis OPM dibentangkan dengan bebas di bumi Yogyakarta.



Situasi saat beberapa orang mahasiswa Papua melakukan aksi demonstrasi di bundaran UGM Yogyakarta

cah yogya, UGM Yogyakarta

(Foto : Dok. Pribadi)

Di tengah situasi tersebut, ingatan saya melayang kepada sejarah Kota Yogya, dimana pada 19 Desember 1961 tepatnya di alun-alun utara Yogya, Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora yang berisi : Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial; Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia; Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Kelompok OPM justru menganggap sejarah tersebut sebagai bentuk penjajahan Indonesia terhadap Papua. Padahal Indonesia memiliki dasar yang cukup kuat, berdasarkan doktrin Uti Possidetis Juris, Indonesia berhak memiliki batas wilayah sebagaimana wilayah yang dimilik oleh Belanda ketika menjajah wilayah Indonesia. Doktrin Uti Possidetis Juris berasal dari hukum Romawi kuno : Uti PossidetisIi Ita Possideatis, yang berarti bahwa berakhirnya kekuasaan suatu suku atau bangsa melalui penaklukan Romawi tidak mengubah batas-batas wilayah yang sebelumnya ada, guna menjaga status quo hubungan sosial warga sebelumnya. Doktrin ini oleh Mahkamah Internasional ditetapkan sebagai hukum internasional yang berlaku umum, dan digunakan dalam berbagai sengketa terhadap negara-negara yang baru merdeka.

Di tengah berlangsungnya demonstrasi tersebut, seorang petugas sekuriti di sekitar kompleks kampus UGM berkomentar :

“mereka ini di Jogja mau menuntut ilmu atau menuntut merdeka? Jogja ini tempat menimba ilmu, kami warga Jogja sangat terbuka dengan siapa saja yang datang ke Jogja. Kalau mau menuntut merdeka ya jangan datang ke Jogja karena Jogja adalah Indonesia. Satu sisi mereka ingin merdeka, tetapi masih menikmati pelayanan negara Indonesia. Mending ke luar negeri, tidak di Indonesia kalau memang pengen merdeka dari Indonesia”

Kebanggaan sejarah Yogya yang mengumandangkan semangat untuk mempertahankan kedaulatan NKRI pada awal kemerdekaan, saat ini seolah dikhianati oleh generasi muda bangsa Indonesia. Pihak kepolisian sebagai penegak hukum semestinya dapat bertindak tegas menjalankan fungsi dan tugas pokoknya.

Dari petikan komentar sang juru parkir dan sekuriti UGM di atas, sedikit banyak mencerminkan suara hati rakyat Yogya, bahwa sebagai tuan rumah tentunya sangat berharap tamu di rumahnya dapat menikmati kenyamanan rumahnya, namun tetap menghormati aturan yang ada. Karena berabad-abad sebelumnya, leluhur mereka telah melahirkan sebuah kata bijak “DESO MOWO CORO, NEGORO MOWO TOTO” yang artinya desa memiliki adat istiadat, negara memiliki hukum.


source :  edukasi.kompasiana.com/.../jangan-ke-yogyakarta-jika-ingin-merdeka



Update News By : Andy2dsd

Incoming search terms:

  • yogyakarta
  • wisata yogyakarta

Post a Comment for "Jangan ke Yogya Kalau Ingin Merdeka"