Mak Lampir Dan Pasar Setan Gunung Merapi Itu Nyata
CAHYOGYA.COM - Media berita aneka tips dan pengetahuan baru terlengkap. Pernahkah anda mendengar istilah Pasar Bubrah? Bagi wisatawan atau pelancong yang pernah singgah di Gunung merapi pasti tidak asing dengan istilah atau nama tempat ini. Di bawah puncak Gunung Merapi ada daerah batuan dan pasir yang bernama “Pasar Bubrah” yang oleh masyarakat dipercaya sebagai tempat yang sangat angker. “Pasar Bubrah” tersebut dipercaya masyarakat sebagai pasar besar Keraton Merapi dan pada batu besar yang berserakan di daerah itu dianggap sebagai warung dan meja kursi makhluk halus.
Pasar Setan Gunung Merapi
Berikut cerita dari pengalaman salah satu CAHYOGYA. Misteri Gunung Merapi, mengingatkan kita pada film yang ditayangkan sebuah stasiun TV swasta (Misteri Gunung Merapi). Kisahnya dilatar belakangi oleh keangkeran Gunung Merapi yang dihuni oleh Mak Lampir, tokoh jahat yang setengah manusia dan setengah jin.
Ternyata, banyak orang yang tidak tahu bahwa kisah tersebut bukanlah fiksi belaka, tapi memang diambil dari cerita atau mitos yang dipercayai oleh masyarakat sekitarnya. Perbedaannya hanya pada tokoh dan alur ceritanya.
Seperti dikatakan almarhum Mbah Marijan, kuncen Merapi yang tewas akibat awan panas, “Sesungguhnya Gunung Merapi adalah sebuh kerajaan para makhluk halus. Namun tidak sembarang orang yang dapat melihatnya, hanya mereka yang memiliki kelebihan atau sang penguasa alam ghaib itu yang sengaja menampakan keberadaannya.” ujarnya.
Mbah Marijan juga mengatakan, selain terdapat sebuah kerajaan ghaib, keangkeran lainnya adalah pasar dedemit yang bernama Pasar Bubrah. Tempat ini merupakan pasarnya para makhluk halus, yang dapat dilihat pada setiap malam jum'at. Pada saat itu, jangan heran bila akan terdengar keramaian layaknya sebuah pasar malam di puncak gunung ini.
Awalnya saya dan dua orang teman saya tidak begitu yakin tentang semua yang dikatakan oleh Mbah Marijan. Tapi, ketika kami bertiga mendapat ijin dari Mbah Marijan untuk mendaki puncak Garuda, kamipun merasakan dan mengakui kebenaran kisah itu yang membuat kami gemetar ketakutan. Kebenaran kisah itu terbukti saat kami melakukan pendakian melalui jalur kaliurang yang terdapat di Desa Kinahrejo, dengan ditemani Mas Budi, anak angkat Mbah Marijan.
Medan berbatu yang terjal dan juga sangat rapuh harus dilalui sehari penuh. Rasa penat bertambah lagi ketika harus melintasi kawah mati, karena uap belerang membuat napas semakin sesak. Sesampai di Pasar Bubrah, kami sepakat berkemah dan bermalam di sana, untuk merasakan keanehan yang kerap dibicarakan orang itu. Bukannya sombong, tapi sekedar membuktikan bahwa semua itu adalah sebuah kebenaran dan bukan mitos. Selain itu, tempat ini merupakan lokasi ideal berkemah karena letaknya sudah mendekati puncak.
Tak lama, ketika mata kami mulai terpejam karena rasa penat setelah seharian berjalan, kisah pasar setan yang diceritakan oleh Mbah Marijan menunjukan kebenaran. Suara-suara gamelan dan gending jawa mulai mengalun di telinga kami, keramaian sebuah pasarpun menyusul. Bersamaan dengan itu deru angin semakin besar dan menambah gaduh suasana.
Seperti terhenyak dari mimpi buruk, kami langsung terjaga dengan wajah pucat dan keringat dingin. Tanpa sepatah kata, mata kami saling memandang dan berusaha menjawab pertanyaan yang ada dalam hati masing-masing. Sebuah pertanyaan yang baru akan terjawab bila mentari telah menampakkan dirinya. Dalam keadaan demikian, teringatlah semua dosa yang pernah dilakukan. Doa dan harapan kepada Tuhan terus terucap dari bibir kami dengan terpatah-patah.
“Semoga Allah masih mengijinkan untuk menebus kesalahanku. Dan tidak membiarkan para dedemit itu membawa kami ke alam ghaib,” ujar saya. Dari ketinggian 2919 Dpl, keramaian pasar setan itu terus berlangsung hingga larut malam. Rasa penat yang tak tertahankan akhirnya membuat kami terlelap saat hari menjelang pagi.
Saat sinar mentari membangunkan kami, rasa syukurpun spontan keluar dari mulut kami. Mesti sempat terlintas tidak melanjutkan pendakian, tetapi akhirnya pada pukul 08.00 WIB. Kami melanjutkan pendakian menuju puncak Garuda. Karena untuk mencapai puncak tinggi membutuhkan waktu sekitar satu jam. Suasana puncak Garuda memang sangat mengerikan, apalagi bila teringat pada tragedi 1994 lalu, yang letusannya mengakibatkan 66 jiwa melayang. Dan pada awal 2001, material letusan melambung ke angkasa sejauh 4 Km dan menyebabkan hujan petir. Coba bayangkan bila gunung itu kembali meletus, harus kemana kami melarikan diri? Sehingga wajar saja, rasa takut terus menghantui kami. Belum lagi ketika salah seorang teman, sempat melihat bangunan candi tua yang berada di sebelah timur puncak garuda. Hal itu jelas menimbulkan ketakutan yang luar biasa waktu itu. Terlebih mengingat kejadian semalam yang baru kami alami.
Kemudian kami pun langsung turun meninggalkan puncak serta pemandangan alam yang belum puas kami nikmati karena kejadian itu.Perjalanan turun membutuhkan konsentrasi yang tinggi, karena kondisi medan hingga 90 derajat. Kalau terpeleset, kami dapat kehilangan nyawa atau lebih bila beruntung mungkin hanya patah tulang serta memar.
Setibanya di pasar Bubrah, kami menyempatkan diri beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah sambil memandangi lautan awan yang mengelilingi puncak Merbabu dan Puncak gunung Sindoro Sumbing di Wonosobo. Pemandangan dan udara yang sejuk itu membuat mata ini akhirnya terpejam. Baru pada pukul 13.00 WIB, kami terbangun oleh teriakan Mas Budi. Dengan wajah seputih kertas, ia lalu mengajak kami untuk segera turun.
Dalam perjalanan turun, Mas Budi terus berada di depan. Tanpa bicara ia melaju dengan cepat seperti dikejar-kejar setan. Melihat keanehan itu, tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan dalam benak kami. Apalagi, ketika ditegur ia seolah-olah tidak peduli dan terus menerus mengayukan kakinya, bahkan semakin cepat. Begitu hampir tiba di Desa Kinahrejo, ia mulai memperlambat langkahnya. Tapi, tetap saja ia tidak menceritakan apa yang telah terjadi. “Nanti kalu sudah sampai di rumah simbah aku ceritakan!” jawabnya, singkat.
Sesampainya di Desa Kinahrejo, terlihat Mbah Marijan sudah berdiri di depan halaman rumahnya seakan memang sengaja menyambut kehadiran kami. Dengan ramah ia tersenyum dan mempersilakan kami masuk untuk beristirahat. Tak lama tanpa basa-basi lagi kami langsung mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi, kepada Mas Budi. “Saat tidur, saya mendapatkan pesan dari Simbah untuk segera meninggalkan tempat itu. Karena akan ada penumbalan oleh penguasa Merapi. Dan korbanya akan dijadikan pengikutnya,” ucapnya.
Menurutnya, hal semacam itu memang sering terjadi. Korbanyapun tak pandang bulu, bila sang penguasa menyukainya maka dia akan dijadikan sasaran. Biasanya sang penguasa memilih orang-orang yang memang kurang baik dari segi moral, agama, atau telah berbuat sesuatu yang membuatnya murka.
Keesokan harinya, terdengar kabar dari si Mbah bahwa Merapi kembali menelan korban jiwa. Kali ini, korbannya berasal dari kewarganegaraan asing, yaitu asal Jerman. Pendaki itu tewas ketika hendak melakukan penelitian aktivitas Merapi bersama beberapa rekannya. Kejadian itu berlangsung tak lama setelah kami turun, dan ternyata masih ada kaitannya dengan semua yang telah kami alami.
Setelah mengalami dan menyaksikan sendiri keberadaan kerajaan ghaib dan pasar setan dipuncak Merapi, baru kami percaya bahwa sesuatu yang gaib itu memang ada. Dan harus diakui kalau Gunung Merapi memanglah bukan sembarang gunung. Bahkan, kepercayaan itu diperkuat lagi dengan adanya upacara ritual labuhan yang diadakan oleh pihak keraton dan penguasa merapi, karena telah membantu melindungi dari malapetaka.
Berdasarkan cerita rakyat, asal muasal upacara ritual ini berawal dari jaman Sultan Agung. Ketika itu, kerajaan tengah tertimpa sebuah malapetaka yang membuat negara kacau balau. Sultan Agung melakukan semedi dan meminta bantuan pada penguasa alam halus yang merupakan penjelmaan dari Nawang Wulan, seorang bidadari cantik yang diturunkan dari kayangan atau dikenal oleh masyarakat jawa sebagai Nyi Roro kidul, penguasa laut selatan. Kemudian, sang ratu memberikan bantuan dengan mengirimkan ribuan anak buahnya untuk menyelesaikan malapetaka itu. Tapi bantuan itu bukan tanpa syarat, sang sultan beserta seluruh keturunannya harus bersedia menjadi suami dan memberikan persembahan yang kemudian dikenal dengan nama labuhan.
Hingga saat ini, pada masa kesultanan Hamengkubuono X, perjanjian itu masih berlaku dan akan terus berlanjut pada keturunan Sultan Agung yang berikutnya. Konon, bila perjanjian itu dilanggar, maka akan mengakibatkan kehancuran kesultanan Yogyakarta. “Jika perjanjian dilanggar, akan terjadi malapetaka seperti yang terjadi pada masa Sultan Agung,” demikian penurutan almarhum Mbah Marijan yang telah menjadi juru kunci Merapi selama hidupnya.
Sementara itu, selain kerajaan para dedemit dan pasar setan, di desa Kinahrejo juga banyak terdapat tempat–tempat yang kental bernuansa ghaib. Seperti watu gajah, merupakan sebuah batu besar yang dipercaya dapat menahan aliran lahar bila gunung merapi meletus. Batu ini dilingkari oleh pagar tembok, dan memiliki satu buah pintu masuk. Di dalamnya terdapat tempat persembahan yang biasanya dilakukan pada malam jum’at kliwon.
Tak jauh dari sini, ada sebuah pohon beringin satu-satunya yang ada di desa, sehingga disakralkan oleh warga sebagai tempat keramat. Menurut penuturan Mbah Marijan, tempat ini dulunya merupakan tempat bersemedi seorang pertapa sakti. “Dengan adanya wringin putih ini, desa Kinahrejo akan menjadi sebuah lokasi yang ramai serta dapat mendatangkan banyak rejeki,” kata almarhum Mbah Marijan berdasarkan wangsit yang diterimanya.
Pasar Bubrah adalah sebuah dataran sebelum Puncak Merapi. Batu-batu yang berserakan yang jatuh dari puncak, membentuk seperti sekelompok bangunan pasar yang rusak (bubrah). Konon daerah ini angker.
Beberapa kisah misteri muncul di sini. ada seorang kawan .. bilang belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri ceritera2 tentang ini. Dia hanya pernah ketika bangun pagi hari jam 5 pagi di sini, terdengar suara orang ramai dan riuh seperti berada di sebuah pasar tradisional. Dan dia pun segera kabur, angkat kaki menyingkir. Menurut dia mahluk-mahluk ini pada hari-hari tertentu pun pergi ke pasar di Selo untuk berbelanja. Dan para penjual di pasar konon juga dapat mengenali mereka yang bukan benar-benar manusia. Hiii …
Dia juga bercerita, pernah memandu turis Belanda, dan ketika pulang melewati Pasar Bubrah, bule Belanda itu melihat ada seorang berpakaian Jawa yang naik kuda. Kisah lain ketika sekelompok mahasiswa yang sudah sampai disini, kemudian mendirikan tenda. Salah satu dari mereka masuk tenda dengan membawa pisang. Temannya bertanya, darimana dapet pisang itu? Dan dijawab, tadi beli di warung di depan sana. Warung mana, ini kan di gunung? Haa …? Dan mereka pun segera kabur Yah begitu deh. Believe it or not.
ada juga cerita dari kawan indigo...tempat ini dulunya memang benar-benar ada kehidupan... tapi musnah ketika letusan gunung merapi kala itu.
Bahkan kalau yang belum pengalaman nge-camp di pasar bubrah, di jamin tidak bisa tidur, karna puncak merapi terus mengeluarkan -bunyian seperti batu longsor, mengingat pasar bubrah hanya berjarak 100 meter dari puncak merapi. Belum lagi sugesti tentang cerita mistis Pasar Bubrah.. tapi bagaimanapun nge-camp di pasar bubrah banyak manfaatnya dan layak anda coba, kata orang jawa = laku prihatin.
Pasar Bubrah treknya relatif rata ditebari batu-batu. Lumayan juga dapat istirahat dan menarik nafas sejenak sebelum trek pendakian yg naik tajam menjelang ke puncak.
Hallo, cah yogya! Mari bergabung dengan kami di www.cahyogya.com. Kami mengajak anda untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam penyebaran informasi di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Anda bisa mengirimkan artikel tentang potensi wisata atau informasi terkait dengan desa anda atau tempat yang menurut anda menarik. Artikel bisa dikirim via Email ke andy2dsd@gmail.com atau bisa menghubungi saya via menu contact. Trimakasih..
Incoming search terms:
- cerita mistis Yogya
- tempat mistis di Yogya
- pasar bubrah gunung merapi jogja